
“Goleko urip ojo lali sangune mati” Itulah kalimat wejangan dari Ketua Umum Pusat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Mas Tarmadji Boedi Harsono (Mas Madji), yang selalu diugemi Wahyu Subakdiono dalam menjalani kehidupannya.
Dan wejangan itu pula yang kemudian membentuk karakter dan prinsip hidupnya, bahwa selagi masih hidup, manusia tidak boleh berhenti dan harus terus berkarya. “Manusia itu sudah terlanjur hidup, harus mencari hidup, agar hidup bisa menghidupi, baik diri sendiri, keluarga dan sumrambah kepada orang lain,” terang Mas Wahyu.
Mas Wahyu mulai mengenal seni pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate, sejak usia remaja, Tepatnya pada tahun 1973, namun tindak sampai tuntas, karena harus hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Di Ibukota Wahyu mengenyam pendidikan di LPKAJ (sekarang IKJ – Institut Kesenian Jakarta-red) itupun juga tidak sempat selesai, karena ditentang oleh pamannya.
Lalu pada tahun 1978, Wahyu pulang ke Bojonegoro, karena meskipun kedua orang tuanya tinggal di Madiun, tetapi banyak keluarga yang berdomisili di Bojonegoro. Meski sempat bergumul dengan kehidupan metropolitan, ternyata keinginan Mas Wahyu muda untuk belajar seni beladiri pencak silat masih belum padam.
Lalu pada sekitar awal tahun 1979, Mas Wahyu memutuskan untuk kembali berlatih pencak silat. Karena pada saat itu di Bojonegoro, belum ada tempat latihan SH Terate, Wahyu mengikuti latihan di Ngawi.
Selama mengikuti latihan silat di SH Terate, Mas Wahyu muda yang dipenuhi dengan gelora pemberontakan berobsesi menjadi seorang pendekar pilih tanding yang mempunyai kesaktian. Namun betapa kecewanya ia ketika pada tahun 1981 disyahkan sebagai pendekar SH Terate, kesaktian yang dia dambakan tidak diperoleh.

